BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara
mengenai situasi pengajaran di Indonesia, kita tidak dapat menutupi kenyataan
di mana sekolah-sekolah masih mengutamakan penguasaan konsep mata pelajaran.
Akibatnya, peranan dan minat guru-guru ataupun murid-murid masih banyak
dibatasi oleh pengawasan dari pihak pemerintah. Memang ada kemungkinan, bahwa
keberhasilan pendidikan kita adalah tidak lepas hubungannya dengan keterampilan
guru-guru dalam mengelola belajar mengajar. Pendidikan kita sekarang belum
banyak memperhatikan minat dan kebutuhan anak didik. Pendidikan kita masih
banyak berkutat dengan masalah-masalah kompetensi lembanga pendidikan serta
pemenuhan kebutuhan dunia kerja akan tenaga kerja.
Dengan
kenyataan di atas, maka sudah tiba masanya sekarang dimana pendidikan hendaknya
lebih melayani kebutuhan dan hakikat psikologis anak didik. Pendidikan
seharusnya mempunyai kreasi-kreasi baru di sepnjang waktu dengan berorientasi
kepada sifat dan hakikat anak didik. Selama anak sekolah hanya menyenangi puisi-puisi
daripada menulis naskah-naskah kreatif dan selama anak-anak sekolah dilatih
perhitungan matematis yang kurang berguna daripada mengajarkan manfaat
perhitungan tersebut untuk kegunaan yang nyata, maka selama itu pula pendidikan
di sekolah belum berhasil.
Apabila
kita melihat dunia pendidikan dalam prakteknya, masih banyak dijumpai guru-guru
yang beranggapan, bahwa pekerjaan mereka tidak lebih dari menumpahkan air ke
dalam gelas kosong. Guru yang benar-benar dapat berhasil adalah guru yang
menyadari bahwa dia mengajarkan sesuatu kepada manusia-manusia yang berharga
dan berkembang. Dengan bekal kesadaran semacam ini di kalangan para pendidik,
hal itu sudah memberikan harapan agar guru-guru menghormati pekerjaan mereka
sebagai guru. Pekerjaan guru adalah lebih bersifat psikologis daripada pekerjan
seorang dokter, insinyur atau ahli hukum. Untuk itu, guru hendaknya tidak jemu
dengan pekerjaannya, meskipun dia tidak dapat menentukan atau meramalkan secara
tegas tantang bentuk manusia yang bagaimanakan yang akan dihasilkannya kelak di
kemudian hari.
Sekolah-sekolah
yang menekankan disiplin ketat terhadap murid-murid di kelas serta menjadikan
displin sebagai alat vital untuk menyampikan bahan pelajaran kepada
murid-murid, maka sekolah-sekolah semacam itu belum memberi tempat yang
terhormat terhadapa psikologi dalam pendidikan. Disiplin pada hakikatnya hanya
salah satu metode dalam pengajaran guna menumbuhkan kepatuhan pada anak didik.
Kepatuhan
memang perlu, tetapi kepatuhan itu sendiri hendaknya tidak sepihak. Kepatuhan
sebaiknya terjadi secara timbal balik di antara semua pihak yang terlibat di
dalam pendidikan, baik itu anak didik, pendidik, kurikulum, maupun fasilitas
pendidikan. Di sinilah letak pentingnya psikologi dalam pendidikan. Semua pihak
yang terlibat dalam proses pendidikan perlu mengarahkan perhatian kepada sifat
dan hakikat anak didik, sehingga pelayanan pengajaran mebuahkan pribadi pribadi
yang berkembang secara efektif.
Berdasarkan uraian di atas, pengetahuan
psikologis tentang anak didik menjadi hal yang sangat penting dalam pendidikan.
Karena itu, pengetahuan tentang psikologi pendidikan seharusnya menjadi
kebutuhan bagi para pendidik, bahkan bagi setiap orang yang menyadari
peranannya sebagai pendidik. Sehubungan dengan pentingnya mengetahui tentang
landasan psikologis dalam pendidikan maka pembahasan yang kami lakukan sangat
perlu untuk dibincangkan. Pendidikan selalu melibatkan kejiwaan manusia,
sehingga landasan psikologi merupakan salah satu landasan yang penting dalam
bidang pendidikan. Sementara itu keberhasilan pendidik dalam melaksanakan
berbagai peranannya akan dipengaruhi oleh pemahamannya tentang seluk beluk
landasan pendidikan termasuk landasan psikologis dalam pendidikan.
Perbedaan individual terjadi karena
adanya perbedaan berbagai aspek kejiwaan antar peserta didik, bukan hanya yang
berkaitan dengan kecerdasan dan bakat tetapi juga perbedaan pengalaman dan
tingkat perkembangan, perbedaan aspirasi dan citacita bahkan perbedaan
kepribadian secara keseluruhan. Oleh sebab itu, pendidik perlu memahami
perkembangan individu peserta didiknya baik itu prinsip perkembangannya maupun
arah perkembangannya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
- Bagaimanakah pengertian landasan psikologis dalam pendidikan?
- Bagaimanakah implikasi landasan psikologi dalam pendidikan?
- Apakah Peran Psikologi Pendidikan Dalam Proses Belajar-Mengajar ?
1.3 Tujuan
Tujuan
dalam pembuatan makalah ini adalah agar pendidik dapat memahami perkembangan
peserta didiknya berdasarkan tahapan usia perkembangannya sehingga diharapkan
tidak ada kekeliruan dalam mengenali dan menyikapi peserta didiknya. Dengan
demikian proses pendidikan pun akan berjalan dengan lancar.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Landasan Psikologis dalam Pendidikan
Secara etimologis, istilah
psikologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata psyche berarti ”jiwa”,
dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa,
atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Namun apabila mengacu
pada salah satu syarat ilmu yaitu adanya objek yang dipelajari maka tidaklah
tepat mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa karena jiwa bersifat
abstrak. Oleh karena itu yang sangat mungkin dikaji adalah manifestasi
dari jiwa itu sendiri yaitu dalam wujud perilaku individu dalam berinteraksi
dengan lingkungannya. Dengan dasar ini maka psikologi dapat diartikan sebagai suatu
ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam berinteraksi dengan
lingkungannya.
Menurut Whiterington (1982:10) bahwa
pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan
belajar. Itu artinya bahwa tindakan-tindakan belajar yang berlangsung secara
terus menerus akan menghasilkan pertumbuhan pengetahuan dan perilaku sesuai
dengan tingkatan pembelajaran yang dilalui oleh individu sendiri melalui proses
belajar-mengajar. Karena itu untuk mencapai hasil yang diharapkan, metode dan
pendekatan yang benar dalam proses pendidikan sangat diperlukan.
Kalau kita berbicara tentang
individu yaitu manusia, maka kita akan bertemu dengan beberapa keunikan
perilaku/jiwa (psyche), dan faktor ini akan berhubungan erat bahkan menentukan
dalam keberhasilan proses belajar. Didasari pada begitu eratnya antara tugas
psikologi (jiwa) dan ilmu pendidikan, kemudian lahirlah suatu subdisiplin yaitu
psikologi pendidikan (educational psychology).
Psikologi pendidikan adalah studi
yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan
pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung
melalui tindakan-tindakan belajar. Dari dua definisi ini maka jelas fokus dari
psikologi pendidikan adalah proses belajar mengajar.
Pemahaman peserta didik yang berkaitan
dengan aspek kejiwaan merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Oleh
karena itu, hasil kajian dan penemuan psiologis sangat diperlukan penerapannya
dalam bidang pendidikan. Misalnya pengetahuan tentang aspek-aspek pribadi,
urutan, dan ciriciri pertumbuhan setiap aspek, dan konsep tentang caracara paling
tepat untuk mengembangkannya. Untuk itu psikologi menyediakan sejumlah
informasi tentang kehidupan pribadi manusia pada umumnya serta berkaitan dengan
aspek pribadi.
Individu memiliki bakat, kemampuan,
minat, kekuatan serta tempo, dan irama perkembangan yang berbeda satu dengan
yang lain. Sebagai implikasinya pendidik tidak mungkin memperlakukan sama
kepada setiap peserta didik, sekalipun mereka mungkin memiliki beberapa
persamaan. Penyusunan kurikulum perlu berhatihati dalam menentukan jenjang
pengalaman belajar yang akan dijadikan garisgaris besar program pengajaran
serta tingkat keterincian bahan belajar yang digariskan.
Landasan psikologis pendidikan adalah
suatu landasan dalam proses pendidikan yang membahas berbagai informasi tentang
kehidupan manusia pada umumnya serta gejalagejala yang berkaitan dengan aspek
pribadi manusia pada setiap tahapan usia perkembangan tertentu untuk mengenali
dan menyikapi manusia sesuai dengan tahapan usia perkembangannya yang bertujuan
untuk memudahkan proses pendidikan. Kajian psikologi yang erat hubungannya
dengan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikit, dan
belajar (Tirtarahardja, 2005: 106).
2.1.1 Perkembangan Individu
Perkembangan adalah proses terjadinya
perubahan pada manusia baik secaara fisik maupun secara mental sejak berada di
dalam kandungan sampai manusia tersebut meninggal. Proses perkembangan pada
manusia terjadi
dikarenakan manusia mengalami kematangan
dan proses belajar dari waktu ke waktu.
Kematangan adalah perubahan yang terjadi
pada individu dikarenakan adanya pertumbuhan fisik dan biologis, misalnya
seorang anak yang beranjak menjadi dewasa akan mengalami perubahan pada fisik
dan mentalnya.
Sedangkan belajar adalah sebuah proses
yang berkesinambungan dari sebuah pengalaman yang akan membuat suatu individu
berubah dari tidak tahu menjadi tahu (kognitif), dari tidak mau menjadi mau
(afektif) dan dari tidak bias enjadi bisa (psikomotorik), misalnya seseorang
anak yang belajar mengendarai sepeda akan terlebih dahulu diberi pengarahan
oleh orang tuanya lalu anak tersebut mencoba untuk mengendarai sepeda hingga
menjadi bisa.
Proses kematangan dan belajar akan
sangat menentukan kesiapan belajar pada seseorang, misalnya seseorang yang
proses kematangan dan belajarnya baik akan memiliki kesiapan belajar yang jauh
lebih baik dengan seseorang yang proses kematangan dan belajarnya buruk.
Manusia dalam perkembangannya mengalami
perubahan dalam berbagai aspek yang ada pada manusia dan aspek-aspek tersebut
saling berhubungan dan berkaitan. Aspekaspek dalam perkembanga tersebut
diantaranya adalah aspek fisik, mental, emosional, dan sosial.
Semua manusia pasti akan mengalami
perkembangan dengan tingkat perkembangan yang berbeda, ada yang berkembang
dengan cepat dan ada pula yang berkembang dengan lambat. Namun demikian dalam proses
perkembangan terdapat nilainilai universal yang dimiliki oleh semua orang yaitu
prinsip perkembangan. Prinsip perkembangan tersebut diantaranya adalah
sebagai berikut: Perkembangan terjadi secara terus menerus hingga manusia
meninggal dunia Kecepatan perkembangan setiap individu berbedabeda. Semua aspek
perkembangan saling berkaitan dan berhubungan satu sama lainnya Arah
perkembangan individu dapat diprediksi Perkembangan terjadi secara bertahap dan
tiap tahapan mempunyai karakteristik tertentu.
2.2. Pengaruh Heriditas dan
Lingkungan Terhadap Perkembangan Individu
Nativisme
Teori nativisme adalah
teori yang berasumsi bahwa setiap individu dilahirkan kedunia dengan membawa
faktorfaktor turunan dari orang tuanya dan faktor tersebut yang menjadi faktor
penentu perkembangan individu. Tokoh teori ini adalah Schoupenhauer dan Arnold
Gessel Implikasi teori nativisme terhadap pendidikan yaitu kurang memberikan kemungkinan
bagi pendidik untuk mengubah kepribadian peserta didik.
Empirisme
Teori empirisme adalah teori
yang berasumsi bahwa setiap individu yang terlahir ke dunia adalah dalam
keadaan bersih sedangkan faktor penentu perkembangan individu tersebut adalah
lingkungan dan pengalaman Tokoh teori ini adalah John Lock dan J.B.Watson Implikasinya
teori empirisme terhadap pendidikan yaitu dapat memberikan kemungkinan
sepenuhnya bagi pendidik untuk dapat membentuk kepribadian peserta didik.
Konvergensi
Teori konvergensi adalah teori yang
berasumsi bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor keturunan dan
faktor lingkungan serta pengalaman, atau dengan kata lain teori ini adalah
gabungan dari teori empirisme dan teori konvergensi. Tokoh teori ini adalah
Wiliam Stern dan Robert J Havighurst Implikasinya teori konvergensi terhadap
pendidikan yaitu dapat memberikan kemungkinan kepada pendidik untuk membentuk
kepribadian individu sesuai yang diharapkan akan tetapi tetap memperhatikan factor-faktor
heriditas yang ada pada individu.
Asumsi bahwa anak adalah orang dewasa
dalam skala kecil (anak adalah orang dewasa mini) telah ditinggalkan orang
sejak lama, sebagaimana kita maklumi bahwa masa anak-anak adalah suatu tahap
yang berbeda dengan orang dewasa. Anak menjadi dewasa melalui suatu proses
pertumbuhan bertahap mengenai keadaan fisik, sosial, emosional, moral dan
mentalnya. Seraya mereka berkembang, mereka mempunyai cara-cara memahami
bereaksi, dan mempresepsi yang sesuai dengan usianya. Inilah yang oleh ahli
psikologi disebut tahap perkembangan.
Robert Havighurst (1953) membagi
perkembangan individu menjadi empat tahap, yaitu masa bayi dan kanak kanak kecil
(0-6tahun), masa kanak-kanak (6-12 tahun), masa remaja atau adoselen (12-18 tahun),
dan masa dewasa (18 …tahun). Selain itu, Havighurst mendeskripsikan tugastugas perkembangan (development task)
yang harus diselesaikan pada setiap tahap perkembangan sebagai berikut:
1. Tugas
Perkembangan Masa Bayi dan Kanak-kanak kecil (0-6 tahun): Belajar berjalan. Belajar
makan makanan yang padat. Belajar berbicara/berkatakata. Belajar mengontrol
pembuangan kotoran tubuh. Belajar tentang perbedaan kelamin dan kesopanan /
kelakuan yang sesuai dengan jenis kelaminnya. Mencapai stabilitas fisiologis /
jasmaniah. Pembentukan konsep sederhana tentang kenyataan sosial dan kenyataan
fisik. Belajar berhubungan diri secara emosional dengan orang tua saudara-saudaranya,
dan orang lain. Belajar membedakan yang benar dan yang salah dan pengembangan
kesadaran diri / kata hati.
2. Tugas
perkembangan Masa-masa Kanak-kanak (6-12 tahun): Belajar keterampilan fisik
yang perlu untuk permainan sehari-hari. Pembentukan kesatuan sikap terhadap
dirinya sebagai suatu organisme yang tumbuh. Belajar bermain dengan teman-teman
mainnya. Belajar memahami peranan-peranan kepriaan atau kewanitaan.
Pengembangan kemahiran dasar dalam membaca , menulis, dan berhitung. Pengembangn
konsep-konsep yang perlu untuk kehidupan sehari-hari. Pengembangn kesadaran
diri moralitas, dan suatu skala nilai-nilai. Penembangn kebebasan pribadi. Pengembangan
sikap-sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga.
3. Tugas
perkembangan masa Remaja / adoselen (12-18tahun) : Mencapai peranan sosial dan
hubungan yang lebih matang sebagai laki-laki/perempuan serta kebebasan
emosional dari orang tua. Memperoleh jaminan kebebasan ekonomi dengan memilih
dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan. Mempersiapkan diri untuk
berkeluarga. Mengembangkan kecakapan intelektual serta tingkah laku yang bertanggungjawab
dalam masyarakat.
4. Tugas
perkembangan pada masa Dewasa (18…tahun) Masa dewasa awal: Memilih pasangan
hidup dan belajar hidup bersama Memulai berkeluarga. Mulai menduduki suatu
jabatan/pekerjaan. Masa dewasa tengah umur:Mencapai tanggung jawab social dan
warga negara yang dewasa. Membantu anak belasan tahun menjadi dewasa Menghubungkan
diri sendiri kepada suami/isteri sebagai suatu pribadi Menyesuaikan diri kepada
orang tua yang semakin tua Tugas perkembangan usia lanjut : Menyesuaikan diri
pada kekuatan dan kesehatan jasmani Menyesuaikan diri pada saat pensiun dan
pendapatan yang semakin berkurang. Menyesuaikan diri terhadap kematian,terutama
banyak beribadah.
Yelon dan Weinstein (1977) sepakat bahwa
perkembangan individu berlangsung secara bertahap. Pernyataan ini didasarkan
pada karya tokoh-tokoh sebelumnya yang menerangkan perkembangan jenis-jenis tingkah
laku dalam kebudayaan Barat pada umur yang bervariasi, perkembangan tingkah
laku tersebut diantaranya yaitu:
1. Perkembangan
jenis tingkah laku masa anak kecil (toddler) Perkembangan fisiknya sangat aktif
terutama untuk belajar menggerakan anggota tubuhnya. Perkembangan bahasa
pengucapan kalimat,serta belajar konsep-konsep dari benda yang dilihatnya. Mulai
menyukai anak-anak lain, tetapi tidak bermain dengan mereka. Memberikan respon
dan mulai tergantung pada orang tua.
2. Perkembangan
jenis tingkah laku masa Pra sekolah (Prescholler) Perkembangan otot yang mantap
disertai koordinasi anggota tubuh. Bahasa yang berkembang dengan baik, ditandai
dengan pemahaman terhadap pandangan orang lain. Mulai bisa mentaati aturan-aturan
dan menghormati kekuasaan. Memusatkan diri pada perbedaan gender dan kecakapan
masing-masing dengan menekspresikan semua perasaan.
3. Perkembangan
jenis tingkah laku masa Kanak-kanak (Childhood). Keterampilan anggota tubuh
cukup baik dan turut serta dalam permainan-permainan kelompok. Menggunakan
simbol/bahasa untuk memecahkan masalah. Mulai berorientasi pada kelompok yang
mempengaruhi konsep dirinya. Banyak menggunakan waktu untuk membebaskan diri
dari rumah.
4. Perkembangan
jenis tingkah laku masa Remaja awal (Early adolescense) Pertumbuhan tubuhnya
cepat ditandai dengan kematangan seksual. Mulai dapat berpikir abstrak. Menyesuaikan
diri pada norma-norma kelompok dan berteman dekat dengan sebaya dan sejenis. Mengusahakan
untuk lebih bebas,dan emosional tidak stabil.
5. Perkembangan
jenis tingkah laku masa Remaja akhir (late Adolescense) Mencapai kematngan
fisik. Egosentrisme hilang dan dapat berpikir abstrak. Berminat kepada lawan
jenis dan mulai mengadakan hubungan pribadi. Identitas dirinya mapan
dilingkungan masyarakat.
2.2
Implikasi Landasan Psikologi Dalam Pendidikan
Sebagaimana dikemukakan yelon dan
weinstei (1977), implikasi perkembangan individu terhadap perlakuan pendidik
(orang dewasa) yang diharapkan dalam rangka membantu penyelesaian tugas-tugas perkembangannya
adalah sebagai berikut :
Perlakuan pendidik (orang dewasa) yang
diharapkan bagi perkembangan peserta didik pada masa kanak-kanak kecil
:Menyelenggarakan disiplin secara lemah lembut secara konsisten. Menjaga
keselamatan tanpa perlindungan yang berlebihan. Bercakap-cakap dan memberikan
respon terhadap perkataan peserta didik. Memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk aktif dan bereksplorasi. Menghargai hal-hal yang dapat dikerjakan
peserta didik.
1. Perlakuan
pendidik (orang dewasa) yang diharapkan bagi perkembangan peserta didik pada
masa prasekolah : Memberikan tanggung jawab dan kebebasan kepada peserta didik
secara berangsur-angsur dan terusmenerus. Latihan harus ditekankan pada
koordinasi: kecepatan, mengarahkan keseimbangan. Menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan peserta didik. Menyediakan bendabenda untuk diekplorasi. Memberikan
kesempatan untuk berinteraksi sosial dan kerja kelompok kecil. Menggunaka
program aktif, seperti ; bernyanyi dengan bergerak, dll. Memperbanyak aktivitas
berbahasa seterti bercerita, mengklasifikasikan, diskusi masalah, dan membuat
aturan-aturan.
2. Perlakuan
pendidik (orang dewasa) yang diharapkan bagi perkembangan peserta didik pada
masa kanak-kanak : Menerima kebutuhan-kebutuhan akan kebebasan anak ; dan
menambah tanggung jawab anak. Mendorong pertemanan dengan menggunakan projek- projek
dan permainan kelompok. Membangkitkan rasa ingin tahu. Secara konsisten
mengupayakan disipilin yang tegas dan dapat dipahami. Menghadapkan anak pada
gagasan-gagasan dan pandangan- pandangan baru. Bersamasama menciptakan aturan
dan kejujuran. Memberikan contoh model hubungan social. Terbuka terhadap
keritik.
3. Perlakuan
pendidik (orang dewasa) yang diharapkan bagi perkembangan peserta didik pada
masa remaja awal : Memberikan kesempatan berolahraga secara tim dan perorangan,
tetapi tidak mengutamakan tenaga fisik yang besar. Menerima makin dewasanya
peserta didik. Memberikan tanggung jawab secara berangsurangsur. Mendorong
kebebasan dan tanggung jawab.
4. Perlakuan
pendidik (orang dewasa) yang diharapkan bagi perkembangan peserta didik pada
masa remaja akhir : Menghargai pandanganpandangan peserta didik. Menerima
kematangan peserta didik. Memberikan kesempatan luas kepada peserta didik untuk
berolahraga dan bekerja secara cermat. Memberikan kesempatan yang luas untuk
pendidikan karir. Menggunakan kerjasama kelompok untuk memecahkan masalah. Berkreasi
bersama dan bersamasama menegakan berbagai aturan.
Teori Belajar dan Implikasinya Terhadap
Pendidikan. Teori belajar behaviorisme berasumsi bahwa hasil dari sebuah
pembelajaran adalah perubahan tingkah laku yang dapat diobservasi dan
dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dengan faktor penentunya adalah penguatan
atau dorongan dari luar. Teori behaviorisme memiliki komponen yang terdiri dari
rangsangan (stimulation), tanggapan (response), dan akibat (consequence).
Tokoh teori ini adalah B.F.Skinner Implikasinya terhadap pendidikan adalah
sebagai berikut :
Perlakuan terhadap individu didasarkan
kepada tugas yang harus dilakukan sesuai dengan tingkat tahapan dan dalam
pelaksanaannya harus ada ganjaran dan kedisiplinan. Motivasi belajar berasal
dari luar (external) dan harus terus menerus dilakukan agar motivasi
tetap terjaga. Metode belajar dijabarkan secara rinci untuk mengembangkan
disiplin ilmu tertentu. Tujuan kurikuler berpusat pada pengetahuan dan
keterampilan akademis serta tingkah laku social. Pengelolaan kelas berpusat
pada guru dengan interaksi sosial sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu
dan bukan merupakan tujuan utama yang hendak dicapai. Untuk mengefektifkan
belajar maka dilakukan dengan cara menyusun program secara rinci dan bertingkat
sesuai serta mengutamakan penguasaan bahan atau keterampilan. Peserta didik
cenderung pasif. Kegiatan peserta didik diarahkan pada pemahiran keterampilan
melalui pembiasaan setahap demi setahap demi setahap secara rinci
Teori belajar kognitif berasumsi bahwa
belajar adlah proses internal yang kompleks berupa pemrosesan informasi
dikarenakan setiap individu memiliki kemampuan untuk memproses informasi sesuai
faktor kognitif berdasarkan tahapan usianya sehingga hasil belajar adalah
perubahan struktur kognitif yang ada pada individu tersebut. Tokoh teori ini
adalah Jerome Bruner
Teori belajar humanisme berasumsi bahwa
belajar adalah fungsi seluruh kepribadian suatu individu dikarenakan suatu
individu merupakan pribadi utuh yang mempunyai kebebasan memilih untuk
menentukan kehidupannya, juga memiliki keinginan untuk mengetahui sesuatu, juga
memiliki keinginan untuk bereksplorasi dan mengasimilasi
pengalamanpengalamannya.Tokoh teori ini adalah Carl Rogers
2.3
Peran
Psikologi Pendidikan Dalam Proses Belajar-Mengajar
Dalam bukunya, Drs. Alex Subor,
M,si. mendefinisikan bahwa Psikologi Pendidikan adalah subdisiplin
psikologi yang mempelajari tingkah laku individu dalam situasi pendidikan, yang
meliputi pula pengertian tentang proses belajar dan mengajar.
Secara garis besar, umumnya batasan
pokok bahasan psikologi pendidikan dibatasi atas tiga macam:
- Mengenai belajar, yang meliputi teori-teori, prinsip-prinsip dan ciri khas perilaku belajar peserta didik dan sebagainya.
- Mengenai proses belajar, yakni tahapan perbuatan dan peristiwa yang terjadi dalam kegiatan belajar peserta didik dan sebagianya.
- Mengenai situasi belajar, yakni suasana dan keadaan lingkungan baik bersifat fisik maupun non fisik yang berhubungan dengan kegiatan belajar peserta didik.
Sementara menurut Samuel Smith,
setidaknya ada 16 topik yang perlu dibahas dalam psikologi pendidikan, yaitu :
- Pengetahuan tentang psikologi pendidikan (The science of educational psychology)
- Hereditas atau karakteristik pembawaan sejak lahir (heredity)
- Lingkungan yang bersifat fisik (physical structure).
- Perkembangan siswa (growth).
- Proses-proses tingkah laku (behavior proses).
- Hakikat dan ruang lingkup belajar (nature and scope of learning).
- Faktor-faktor yang memperngaruhi belajar (factors that condition learning)
- Hukum-hukum dan teori-teori belajar (laws and theories of learning).
- Pengukuran, yakni prinsip-prinsip dasar dan batasan-batasan pengukuran/ evaluasi. (measurement: basic principles and definitions).
- Tranfer belajar, meliputi mata pelajaran (transfer of learning subject matters)
- Sudut-sudut pandang praktis mengenai pengukuran (practical aspects of measurement).
- Ilmu statistic dasar (element of statistics).
- Kesehatan rohani (mental hygiene).
- Pendidikan membentuk watak (character education).
- Pengetahuan psikologi tentang mata pelajaran sekolah menengah. (Psychology of secondary school subjects).
- Pengetahuan psikologi tentang mata pelajaran sekolah dasar (psychology of elementary school).
Dalam proses belajar-mengajar dapat
dikatakan bahwa ini inti permasalahan psikiologis terletak pada anak didik.
Bukan berarti mengabaikan persoalan psikologi seorang pendidik, namun dalam hal
seseorang telah menjadi seorang pendidik maka ia telah melalui proses
pendidikan dan kematangan psikologis sebagai suatu kebutuhan dalam mengajar. Penguasaan
guru tentang psikologi pendidikan merupakan salah satu kompetensi yang harus
dikuasai guru, yakni kompetensi pedagogik. Muhibbin Syah (2003) mengatakan
bahwa “diantara pengetahuan-pengetahuan yang perlu dikuasai guru dan calon guru
adalah pengetahuan psikologi terapan yang erat kaitannya dengan proses belajar
mengajar peserta didik”
Guru dalam menjalankan perannya
sebagai pendidik bagi peserta didiknya, tentunya dituntut memahami tentang
berbagai aspek perilaku dirinya maupun perilaku orang-orang yang terkait dengan
tugasnya, terutama perilaku peserta didik dengan segala aspeknya, sehingga
dapat menjalankan tugas dan perannya secara efektif, yang pada gilirannya dapat
memberikan kontribusi nyata bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.
Dengan memahami psikologi
pendidikan, seorang guru melalui pertimbangan – pertimbangan psikologisnya
diharapkan dapat :
1.
Merumuskan tujuan pembelajaran secara tepat.
Dengan memahami psikologi pendidikan
yang memadai diharapkan guru akan dapat lebih tepat dalam menentukan bentuk
perubahan perilaku yang dikehendaki sebagai tujuan pembelajaran. Misalnya,
dengan berusaha mengaplikasikan pemikiran Bloom tentang taksonomi perilaku
individu dan mengaitkannya dengan teori-teori perkembangan individu.
2. Memilih strategi atau metode
pembelajaran yang sesuai.
Dengan memahami psikologi pendidikan
yang memadai diharapkan guru dapat menentukan strategi atau metode pembelajaran
yang tepat dan sesuai, dan mampu mengaitkannya dengan karakteristik dan
keunikan individu, jenis belajar dan gaya belajar dan tingkat perkembangan yang
sedang dialami siswanya.
3.
Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling.
Tugas dan peran guru, di samping
melaksanakan pembelajaran, juga diharapkan dapat membimbing para siswanya.
Dengan memahami psikologi pendidikan, tentunya diharapkan guru dapat memberikan
bantuan psikologis secara tepat dan benar, melalui proses hubungan
interpersonal yang penuh kehangatan dan keakraban.
4.
Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik.
Memfasilitasi artinya berusaha untuk
mengembangkan segenap potensi yang dimiliki siswa, seperti bakat, kecerdasan
dan minat. Sedangkan memotivasi dapat diartikan berupaya memberikan dorongan
kepada siswa untuk melakukan perbuatan tertentu, khususnya perbuatan belajar.
Tanpa pemahaman psikologi pendidikan yang memadai, tampaknya guru akan
mengalami kesulitan untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator maupun
motivator belajar siswanya.
5.
Menciptakan iklim belajar yang kondusif.
Efektivitas pembelajaran membutuhkan
adanya iklim belajar yang kondusif. Guru dengan pemahaman psikologi pendidikan
yang memadai memungkinkan untuk dapat menciptakan iklim sosio-emosional yang
kondusif di dalam kelas, sehingga siswa dapat belajar dengan nyaman dan
menyenangkan.
6.
Berinteraksi secara tepat dengan siswanya.
Pemahaman guru tentang psikologi
pendidikan memungkinkan untuk terwujudnya interaksi dengan siswa secara lebih
bijak, penuh empati dan menjadi sosok yang menyenangkan di hadapan siswanya.
7.
Menilai hasil pembelajaran yang adil.
Pemahaman guru tentang psikologi
pendidikan dapat mambantu guru dalam mengembangkan penilaian pembelajaran siswa
yang lebih adil, baik dalam teknis penilaian, pemenuhan prinsip-prinsip
penilaian maupun menentukan hasil-hasil penilaian.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Sebagi objek sasaran dalam proses
belajar mengajar adalah anak didik sebagai manusia individu yang memiliki
perilaku, karakteristik dan kemampuan yang berbeda satu sama lain, maka dalam
proses belajar mengajar, seorang pendidik perlu memperhatikan faktor psikologi
karena pendidikan sebagai suatu proses perubahan tingkah laku yang diperolah
melalui belajar mengajar, tidak dapat dipisahkan dari psikologi.
Guru sebagai pendidik/pengajar
menjadi subjek yang mutlak harus memiliki pengetahuan psikologi sehingga proses
belajar mengajar bisa berjalan dengan baik, setidaknya dalam meminimalisir
kegagalan dalam menyampaikan mataeri pelajaran.
Landasan
psikologis pendidikan merupakan salah satu landasan yang penting dalam
pelaksanan pendidikan karena keberhasilan pendidik dalam menjalankan tugasna
sangat dipengaruhi oleh pemahamannya tentang peserta didik. Oleh karena itu
pendidik harus mengetahui apa yang harus dilakukan kepada peserta didik dalam
setiap tahap perkembangan yang berbeda mulai dari banyi hingga dewasa.
3.2 Saran
Karena begitu
pentingnya landasan psikologis dalam pendidikan maka seluruh calon pendidik dan
para pendidik diharapkan mampu mempelajari serta mengaplikasikan landasan
psikologis dalam pendidikan agar proses pendidikan berjalan dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Hadikusumo,
Kunaryo dkk. 1996. Pengantar Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press
Satmoko,
R.S. 1989. DasarDasar Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press
.......................
1999. Landasan Kependidikan (Pengantar ke arah Ilmu Pendidikan Pancasila).Semarang:
IKIP Semarang Press
Tirtarahardja,
Umar. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar